HarianMetro.co, POHUWATO – Menjelang pemilihan, banyak calon kepala daerah berusaha menarik perhatian masyarakat dengan janji-janji besar. Namun, apakah janji-janji tersebut realistis dan dapat dicapai dalam lima tahun mendatang? menurut saya dibeberapa calon yang punya potensi memenangkan pilkada diibaratkan seperti kalimat “Chasing the wind” atau usaha yang sia sia dan tidak akan mungkin terwujud sebetapapun hal tersebut diperjuangkan. lantas bagimana ini bisa terjadi ?
- KENDALI ADA DI TANGAN, TAPI RUTENYA SUDAH DITENTUKAN
Meskipun calon kepala daerah memiliki kewenangan mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengelolaan ini tetap terikat pada pedoman yang ditetapkan pemerintah pusat. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2025. Peraturan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa penyusunan APBD harus sinkron dengan prioritas pembangunan nasional.
Permendagri nomor 15 tahun 2024 ini secara rinci menjelaskan bagaimana pemerintah daerah harus menyusun anggarannya. Sebagai contoh, terdapat alokasi anggaran wajib seperti 20% untuk pendidikan, minimal 40% untuk infrastruktur publik hingga tahun 2027, dan maksimal 30% untuk belanja pegawai. Jika diumpamakan sebuah daerah memiliki anggaran total 100%, maka alokasi wajib ini membuat ruang gerak pengelolaan anggaran menjadi sangat terbatas, menyisakan hanya sekitar 10% dari total anggaran. Untuk daerah yang memiliki sumber daya alam, seperti sektor pertambangan, sisa anggaran ini pun sering kali terserap untuk pengelolaan sumber daya alam serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang.
Belum lagi, terdapat kebutuhan alokasi untuk sektor-sektor strategis lainnya, seperti industri, kesehatan, pariwisata, pertanian, maritim, logistik, peternakan, UMKM, dan e-commerce. Semua sektor ini memerlukan perhatian dan pendanaan khusus untuk mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan. Selain itu, pendapatan daerah dari sektor pertambangan juga wajib dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Dengan demikian, fleksibilitas daerah dalam mengatur anggaran sangat terbatas, dan tidak semua visi atau misi yang diusulkan calon kepala daerah dapat diwujudkan begitu saja. Terlebih lagi, penyusunan APBD diwajibkan menggunakan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, sehingga setiap rencana penganggaran dapat dikontrol secara sistematis oleh pemerintah pusat.
Lantas, bagaimana ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana: otonomi daerah tetap memiliki batasan. Konsepsi Asimetris desentralisasi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa meskipun daerah diberikan kewenangan dalam mengelola pemerintahan, tetap ada pembatasan dalam hal penggunaan anggaran dan kebijakan yang harus sesuai dengan pedoman pemerintah pusat.
Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa penggunaan anggaran daerah tidak hanya efisien tetapi juga efektif dalam mendukung target pembangunan nasional yang lebih besar. Oleh karena itu, visi dan misi calon kepala daerah harus dikaji secara realistis. Tidak cukup hanya menyenangkan telinga masyarakat dengan janji-janji muluk dan sifatnya “Universal”, misalnya “menghapuskan kemiskinan”, “Mensejahterahkan Rakyat”, dan belum lagi dibeberapa daerah calon kepala daerahnya mencangkan 5-10 program strategis dengan anggaran yang cukup fantastis. pertanyaannya dari mana anggarannya dan atas dasar apa?
- APBD EFEKTIF HANYA 3.6 TAHUN
Sebelum membahas lebih lanjut, banyak yang pasti bertanya, kok bisa? bagaimana mungkin jabatan kepala daerah yang berlangsung selama 5 tahun, namun anggaran yang tersedia hanya berlaku efektif selama 3,6 tahun? Meskipun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dirancang untuk 5 tahun, ada beberapa faktor yang membatasi waktu efektif kepala daerah dalam mengelola anggaran.
Setelah dilantik pada bulan Februari, yang bisa saja terlambat jika ada sengketa di Mahkamah Konstitusi, kepala daerah baru harus menjalani proses politik yang panjang, termasuk penyesuaian internal dan administrasi. Kemudian, ia harus menyusun Rancangan Teknokratik RPJMD (Rantek RPJMD). Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, pembahasan Rantek RPJMD harus selesai dalam waktu 6 bulan setelah pelantikan dengan puluhan tahapan administrasi, dan setelah itu, disebarluaskan untuk mendapatkan masukan masyarakat dan stakeholders terkait. Dengan proses yang memakan waktu tersebut, implementasi RPJMD sebagai acuan bagi visi, misi, dan program prioritas kepala daerah baru dapat dimulai paling cepat pada tahun 2026.
Selain itu, pada tahun 2029, penyelenggaraan Pemilu Presiden, Legislatif, dan Kepala Daerah akan memotong sebagian besar anggaran dan mengganggu kelancaran program-program yang dijalankan oleh kepala daerah yang sedang menjabat. Alokasi anggaran untuk Pemilu ini akan mengurangi waktu efektif yang tersedia untuk mewujudkan program-program prioritas, sehingga kepala daerah hanya memiliki sekitar 3,6 tahun untuk merealisasikan visi dan misinya.
Dengan waktu yang terbatas, tantangan besar yang dihadapi calon kepala daerah adalah bagaimana memastikan janji politik yang disampaikan selama kampanye dapat terwujud. Janji politik yang tidak disesuaikan dengan realitas anggaran dan waktu yang terbatas berisiko menjadi tidak realistis.
Oleh karena itu, calon kepala daerah harus memahami keterbatasan anggaran dan waktu yang ada, serta merumuskan visi misI dan program yang dapat dijalankan secara efektif, dengan alokasi yang efisien agar tujuan yang tercantum dalam RPJMD dapat tercapai. Jangan sampai janji politik yang berlebihan hanya menjadi angin lalu yang menggoda telinga masyarakat.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara, dia berdusta; jika berjanji, dia ingkar; dan jika diberi amanah, dia berkhianat.” Artinya, janji yang dibuat harus dapat dipertanggungjawabkan, dan jika tidak realistis, hanya akan berujung pada kekecewaan dan kegagalan dalam kepemimpinan.
- BAIK SAJA TIDAK CUKUP, LEBIH BAIK MEMUNGKINKAN
Setiap masyarakat tentu menginginkan pemimpin yang baik. lalu, apakah indikator “baik” itu cukup menjadi acuan dalam memilih seorang kepala daerah? Tentu tidak, karena “baik saja tidak cukup jika” lebih baik memungkinkan. Apa maksudnya?. (bagian ini hanyalah sebagai saran bagi yang nantinya terpilih).
Secara sederhana, jika anggaran daerah hanya efektif untuk 3,6 tahun, maka rasanya sangat sulit untuk mewujudkan visi dan misi yang sudah terlanjur dijanjikan kepada masyarakat. Dalam kondisi seperti ini opsi sebagai politisi adalah, “mundur dengan elegan” lebih dihargai daripada terjebak kegagalan dalam memimpin.
Jika seorang calon kepala daerah tetap yakin atau keukeh dan berharap untuk mewujudkan visi dan misinya, maka mereka harus kerja ekstra dan “Out of the box” dan setidaknya mereka harus didukung oleh tim kerja yang profesional dan mempunyai kemampuan untuk mengkaji sumber anggaran yang tersedia serta aturan yang ada untuk mendukung impian mulia tersebut.
Dengan demikian, visi dan misi tidak harus bergantung sepenuhnya pada APBD, APBN apalagi harus numpang nama di program “gemoy”. terutama bagi kepala daerah incumbent, yang harus berupaya meninggalkan “Legacy” pada masa kepemimpinan terakhirnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses politik yang harus dilalui calon kepala daerah tidak bisa dianggap sepele. Mereka harus berhadapan dengan berbagai partai politik dan tarik menarik kepentingan lainnya. pun demikian janji adalah janji. bahasa sarkasnya “Siapa suruh berjanji”.
Seorang pemimpin haruslah kreatif dalam mencari peluang pendanaan, seperti melalui skema kemitraan publik-swasta, crowdfunding, atau inovasi dalam sumber daya lokal yang dapat memperkuat visi misi tanpa bergantung sepenuhnya pada anggaran pemerintah.
Sudahilah skema-skema yang memalukan untuk menarik anggaran dari pusat, apalagi jika skema tersebut berkaitan dengan kerusakan lingkungan, infrastruktur yang terbengkalai, atau masalah lain yang mengarah pada kehancuran, lalu dijual dimasyarakat sebagai pencapaian positif bagian dari visi misinya.
Calon kepala daerah harus berhenti menggunakan cara-cara seperti ini yang justru merugikan daerah dalam jangka panjang. Sebaliknya, kepala daerah harus berfokus pada pencapaian prestasi yang nyata dan konstruktif serta realistis yang dapat menunjukkan kesungguhan dalam pembangunan dan menarik perhatian pusat dengan cara yang lebih positif.
Akhir kata, janji politik yang disampaikan oleh calon kepala daerah harus diukur berdasarkan kemampuan mereka untuk mewujudkannya, bukan sekadar janji kosong yang mengiming-imingi masyarakat, lalu pada akhirnya seperti pepatah “Di akhir membatu, ikut melempar batu padahal kemauan sendiri,”.
Pun terpilih jangan juga “Jumawa” dengan kemenangan karena itu hanyalah awal. Bilamana kemudian hari lalali dengan persoalan janji politik maka bersiaplah mendapat sumpah serapah dari leluhur yang tergambar melalui bait tuja’i “Wonu dila o bitowa liyo, aalo lo janji” yang artinya jika dia tidak terkena kutukan maka dia ‘dimakan’ ajalnya.
Karya: Suci Priyanti Kartika Chanda Sari SH. (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Trisakti Jakarta)