HarianMetro.co, POHUWATO – Baru-baru ini Pemerintah Daerah melaksanakan rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) terkait persoalan tambang yang menggunakan alat berat di wilayah Kabupaten Pohuwato khususnya di Kecamatan Dengilo.
Dalam rapat itu melahirkan surat edaran, berupa himbauan larangan untuk tidak menggunakan alat berat di wilayah pertambangan. Dan akan dilanjutkan dengan peninjauan lokasi setelah diterbitkannya surat edaran tersbut.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Pohuwato mempertanyakan dengan tegas kepada Pemda Pohuwato, terkait solusi yang bakal diberikan terhadap para penambang lokal Pohuwato ketika Pemerintah melakukan penertiban terhadap aktivitas penambang lokal.
“Lalu solusi yang diberikan oleh Pemda apa? WPR saja kalau tidak didorong dengan aksi demo belum tentu ada di Pohuwato. Sosialisasi WPR dan Syarat IPR saja kalau bukan inisiatif DPC APRI Pohuwato tidak ada,” ujar Limonu Hippy, Kamis (05/01/2023).
Di Pohuwato menurutnya, memang sudah ada 18 blok WPR sudah ditetapkan. Tapi proses lahirnya IPR masih membutuhkan waktu lama. Sebab, masih ada tahapan-tahapan yang harus diselesaikan, baik deliniasi lokasi Blok WPR, pembuatan dokumen pengelolaan WPR, maupun proses pengurusan IPR itu sendiri.
“Untuk apa tim percepatan implementasi WPR yang dibentuk oleh Pemda tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik untuk menjalankan tahapan-tahapan tersebut,” tegasnya.
Minindak lanjuti hal tersebut, dirinya mendesak kepada Pemerintah Daerah untuk mempertimbangkan dulu penertiban aktivitas tambang lokal.
“Kemarin kami telah berupaya untuk mengedukasi dan menghimbau agar penambang lokal tidak mengganggu atau beraktivitas lagi di wilayah konsesi perusahaan baik Kontrak Karya maupun IUP KUD DT. Dan Alhamdulillah mereka sudah turun dari wilayah izin perusahaan dan sudah beraktivitas di Blok WPR yang telah ditetapkan oleh Pemerintah,” jelasnya.
“Tetapi sekerang ini, penambang lokal tetap masih dipersulit. Sementara hasil tambang lokal bukan saja dirasakan oleh penambang saja, tetapi bisa dirasakan oleh semua sektor usaha yang ada di Pohuwato pada khususnya dan Provinsi Gorontalo pada umumnya. Nah ketika diadakan penertiban, maka dipastikan perputaran ekonomi di Pohuwato melemah dan daya beli masyarakat akan menurun drastis. Tentu hal itu perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah” harapnya.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan persoalan pengendalian lingkungan tentu menjadi perhatian bersama dan penting untuk mengarahkan pelaku usaha tambang untuk dapat bertanggungjawab terhadap dampak yang ditimbulkan adanya kegiatan aktivitas tambang tersebut. Terutama untuk tidak membuang air keruh dan sedimentasi langsung ke sungai.
“Persoalan penggunaan alat berat, kiranya kita bisa memahami secara utuh regulasi yang ada.
Di UU no 3 tahun 2020 atas perubahan UU no 4 tahun 2019, bahwa aktivitas di WPR dapat menggunakan alat teknologi. Nah alat Excavator itu merupakan bagian dari alat teknologi,” katanya.
Menurut Limonu, WPR yang ditetapkan oleh pemerintah semua berada di Wilayah sekunder, bukan di primer. Sehingganya mengharuskan penggunaan alat berat untuk mempercepat proses pengambilan hasil dan alat tersebut juga dapat digunakan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan. Baik proses rehabilitasi maupun reklamasi.
Kalau hal tersebut diatas tidak menjadi pertimbangan Pemerintah, maka dalam waktu ini dirinya akan turun aksi besar-besaran dengan menurunkan ribuan masa. Dan APRI siap pasang badan dan bersedia dengan segala resiko.
“Insya Allah kami turun aksi pertama jumlah 5000 masa. Dan aksi demo tersebut mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat nanti. Dan insya Allah saya sendiri yang jadi jendral lapangan nanti. Insya Allah pemberitahuan kita masukan besok ke Polres Pohuwato,” pungkasnya.//RH