HarianMetro.co, POHUWATO – Aliansi Lingkar Tambang 30/S Pohuwato kembali menggelar aksi unjuk rasa. Unjuk rasa tersebut berlangsung didepan Mapolres Pohuwato, Sabtu (30/9/2023).
Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh awak media pada tanggal 25 September kemarin, aksi unjuk rasa tersebut akan diikuti kurang lebih 20.000 massa aksi. Namun rupanya hanya diikuti 5 (Lima) orang massa aksi saja.
Jenderal Lapangan, Uten Umar mengatakan terkait dengan massa aksi yang jumlahnya kurang lebih 20.000 dari Popayato sampai Dengilo hari ini belum dilibatkan atau diturunkan, karena menjaga kondusifitas Daerah agar tidak terjadi chaos lagi dan untuk menghindari adanya penyusup yang akan masuk.
“Untuk menjaga kondusifitas Daerah dan tidak terjadi chaos serta akhirnya berujung pada tindakan kekerasan yang kemungkinan akan memakan korban lagi, maka saya sebagai Jenlap meminta kepada mereka untuk hari ini belum terlibat dalam aksi,” jelas Uten Umar.
Lebih lanjut, kata Uten, perjuangan ini tidak dihentikan atau tidak sampai di sini, pihaknya akan berangkat pada besok hari tanggal 1 Oktober di Jakarta dalam rangka menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI Komisi VII, sekaligus di hadiri oleh pihak perusahaan dan Dirjen Minerba.
“Jadi semua tuntutan penambang, kami akan sampaikan di sana. Jika kemudian tidak menemukan solusi disana, maka 20.000 gabungan massa aksi itu akan kami hadirkan lagi didepan Polres Pohuwato,” ungkap Uten.
Berikut isi tuntutan massa aksi Aliansi Masyarakat Lingkar Tambang 30/S Pohuwato :
- Meminta kepada pihak perusahaan untuk memberikan harga yang layak kepada penambang. Maksud dari harga yang layak itu bukan cuma Rp. 2.500.000 dan Rp. 3.000.000.
- Meminta Polres Pohuwato dan Polda Gorontalo untuk membebaskan massa aksi dan korlap-korlap yang masih di tahan.
- Hentikan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada massa aksi dan korlap-korlap.
Terakhir, Uten Umar menyampaikan dengan adanya kain putih bertuliskan tanah yang dipiloks dengan tulisan merah tersebut, itu memparodikan bahwa di atas sana terjadi perebutan lokasi penambang oleh pihak perusahaan dan penambang lokal.
“Lagi-lagi penambang lokal kalah dalam perebutan itu, karena penambang lokal di anggap ilegal dan kami mengindikasi dan menduga pihak kepolisian lebih berpihak kepada pihak perusahaan daripada rakyat,” tutup Uten.//AD