HarianMetro.co, GORONTALO – AJI mengecam tindakan penghalang-halangan kerja jurnalis yang dilakukan oknum polisi di SPKT Polda Gorontalo pada Selasa 03 Oktober 2023.
AJI menyatakan, tindakan polisi menghalangi jurnalis Tribun Gorontalo, Antara News Gorontalo, dan Dulohupa adalah tindakan keliru.
Tindakan tersebut melanggar kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28F ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 ayat (1).
Kebebasan pers adalah hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Hal ini termasuk hak untuk mengambil gambar atau merekam aktivitas di tempat umum, termasuk di SPKT Polda Gorontalo.
Sesuai aturan, mengusir wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistik bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yakni pasal Pasal 18 ayat (1) UU Pers di mana menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Kronologi:
Tindakan penghalang-halangan terjadi saat jurnalis Tribun, Antara, dan Dulohupa melakukan peliputan terkait kasus meninggalnya salah satu mahasiswa baru IAIN Sultan Amai Gorontalo yang hendak dilaporkan pihak keluarga bersama kuasa hukumnya ke Polda Gorontalo.
Saat sedang mengambil foto dan video, sejumlah jurnalis tiba-tiba dilarang mengambil gambar atau melakukan peliputan di dalam kantor SPKT Polda Gorontalo.
Karena perlakuan tersebut, para jurnalis memutuskan untuk tidak lagi merekam/mengambil gambar dan memilih keluar dari ruang SPKT dan menunggu di luar gedung.
Beberapa waktu kemudian setelah sejumlah kuasa hukum tersebut keluar dari ruang SPKT Polda Gorontalo, jurnalis kembali melakukan wawancara di depan gedung tersebut.
Saat wawancara, tiba-tiba oknum perwira Polisi tersebut, kembali melarang wartawan merekam dan meminta rekaman tersebut dihapus dan jangan ditayangkan, dengan alasan karena mengambil gambar yang bertuliskan SPKT.
Bahkan kata oknum tersebut laporan dari warga yang sedang diliput jurnalis itu belum jelas, sehingga tidak bisa sembarangan dalam memberitakannya.
Oknum tersebut mengatakan silahkan wawancara di tempat lain, dan jangan ambil tulisan atau gedung SPKT. Alasannya karena ia khawatir nanti akan terjadi kesalahpahaman publik dalam memahami berita.
Alasan yang diberikan oleh oknum polisi tersebut, yaitu laporan dari warga yang sedang diliput jurnalis itu belum jelas, sehingga tidak bisa sembarangan dalam memberitakannya, tidak relevan.
Kebebasan pers tidak dibatasi oleh kejelasan laporan. jurnalis berhak untuk meliput suatu peristiwa, baik itu peristiwa yang jelas maupun peristiwa yang belum jelas.
Selain itu, tindakan oknum polisi tersebut juga bersifat intimidatif. Oknum polisi tersebut melarang jurnalis untuk mengambil gambar atau merekam di area SPKT dengan nada yang arogan.
Hal ini dapat menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Karena itu, AJI mendesak Kapolda Gorontalo untuk mengambil tindakan tegas terhadap oknum polisi tersebut.
Kapolda Gorontalo harus memberikan sanksi kepada oknum polisi tersebut agar tindakan serupa tidak terulang kembali.
Berikut adalah desakan AJI Gorontalo kepada Kapolda Gorontalo, Irjen Pol Angesta Romano Yoyol:
- Memeriksa oknum polisi tersebut untuk mengetahui motif dari tindakannya.
- Memberikan sanksi kepada oknum polisi tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Melaksanakan sosialisasi tentang kebebasan pers kepada seluruh anggota Polri.
Dengan adanya tindakan tegas dari Kapolda Gorontalo, diharapkan dapat menciptakan rasa percaya pers terhadap Polda Gorontalo, terutama dalam menjamin kerja-kerja jurnalistik.//HM