Kongres HMI dan Kelupaan Massal Para Wakanda

Penulis: Mohamad Ryfan Abdjul

Sedari kemarin, mulai dari dimulainya Kongres HMI XXXI di Surabaya, saya sudah urungkan niat agar tidak memberi cuitan perihal kegiatan tersebut. Bukan tanpa alasan, semua bermula dari anggapan beberapa kawan, senior, dan para adinda yang baru seusia jagung di HMI, telah menerawang, “Kongres HMI pasti rincu.”

Hal itu merupakan akumulasi dari pengalaman beberapa kali kongres, akhirnya kebanyakan kader menganggap itu biasa saja. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap jika belum ricuh, maka kongres tersebut belum terlalu seksi.

Susahnya, ukuran keseruan perhelatan nasional itu diukur pada tingkat konflik fisiknya, bukan pada argumentasi dan emosional yang bisa dikendalikan.

Yah, mahabenar kanda-yunda dengan segala anggapannya yang tidak bisa ditimpali. Sementara para adinda yang belum lama belajar di pengaderan tingkat awal, mengandalkan penggalan-penggalan kecil dari materi KMO belaka, lalu akhirnya merasa sok tahu.
***

Hari ini Kongres HMI di Tanah Sura dan Baya itu telah memasuki hari keenam. Diawali dengan pembukaan yang direstui oleh RI 1 secara virtual, kegiatan itu masih saja belum selesai.

Media resmi dan beberapa postingan kawan-kawan, secara terang-terangan membagikan informasi kondisi forum kongres yang diwarnai konflik fisik. Sedang di luar forum, para romli (rombongan liar) asyik berfoto ria, dan ada juga memberi protes untuk tempat tinggal dan makan di arena kongres. Hadeh, kalau bukan peserta yang dapat undangan, ada baiknya urus pengaderan aja. Wkwkwk.

Kita tahu, kongres memang telah menjadi ajang untuk kader HMI bersilaturahmi, tapi ketika itu selalu menjadi ajang untuk adu jotos, apakah esensi silaturahmi untuk merajut persaudaraan tercapai?

Hajatan nasional itu mestinya membicarakan hal-hal strategis untuk arah gerak organisasi di masa mendatang, yang dampak positifnya bisa sampai ke seluruh kader se-Indonesia. Bukan hanya titipan para wakanda di istana, dan lembaga negara lainnya di ibu kota.

Semalam lebih parah lagi. Ketika saya bertanya pada seorang senior perihal perkembangan kongres di Surabaya, dengan segala kepercayaan dirinya, terucap dengan ringan “Itu kongres belum banyak kerusakan di gedung tempat lokasi kongres. Pengalaman saya, kongres beberapa tahun lalu, itu gedung-gedung rusak dan harus mengganti rugi dengan nominal yang tidak sedikit. Dan di belakang, para wakanda itu juga belum selesai konsolidasi.” Wah, kerusakan di kongres seperti hal yang niscaya ada.

Lantas, jika konflik ini terus berkepanjangan, siapa yang akan bertanggung jawab? Pakai uang negara lagi lewat lobi-lobi para wakanda di tempat-tempat strategis lembaga negara?

Kongres dan Kelupaan Massal

Akhirnya, niat yang sempat saya urungkan itu kembali saya batalkan karena makin geram dengan kondisi kongres yang ribut di time line media sosial.

Ah, kepentingan individu yang telah sampai di ubun-ubun, terkadang memaksa manusia untuk menutup mata dan hati melihat kepentingan orang banyak. Kurang lebih, begitu yang sedang diperlihatkan oleh para wakanda saya yang terlibat di perhetalan Kongres HMI.

Ada kelupaan yang entah disengaja atau tidak ketika kita melihat perhelatan kongres. Pertama, perihal pelaksanaan kongres di tengah pandemi. Kita tahu, pandemi hingga saat ini masih saja menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Meski begitu, melalui aturan yang diberlakukan negara untuk mencegah penyebarannya, aktivitas masyarakat masih jua dibatasi agar tidak berkerumun.

Tak hanya itu, training di tingkat cabang dan komisariat beberapa tidak terlaksana karena ancaman kerumunan. Adapun yang terlaksana, panitianya was-was jika pesertanya lebih dari ketentuan protokol kesehatan. Padahal, pengaderan merupakan jantung organisasi.

Bahkan, di luar sana, beberapa harus diancam dan berujung jeratan penjara, meski sedang memperjuangkan kepentingan orang banyak lewat aksi demonstrasi. Ah, aturan itu seperti tidak sedang berlaku di tubuh elit HMI. Atau memang ada pengecualian?

Kedua, kegiatan kongres yang menghabiskan uang banyak itu perlu ditilik cermat. Saya tidak percaya jika kegiatan sebesar Kongres HMI anggarannya murni hasil kongko-kongko para senior dan tidak menyerap anggaran negara.

Pun jika lebih banyak dari kongko-kongko para wakanda, tidakkah lebih baik di tengah pandemi, kita membantu para korban PHK dan masyarakat miskin di Indonesia untuk mengimplementasikan insan pengabdi, membantu negera yang tengah mengalami kesulitan di sektor pertumbutan ekonomi, atau untuk wujud insan yang bernapaskan Islam dengan menginfakkan nominal besar itu?

Jangan-jangan para wakanda lupa dengan poin-poin insan cita yang saya uraikan di atas. Kalau iya, gimana, yaa? Apakah tidak durhaka jika saya menyarankan untuk ikut LK-1 lagi?

Berikut perihal konflik fisik yang sering dianggap dinamika. Kanda, selama belajar keislaman dan keindonesian, saya belum juga bertemu dengan argumetasi kuat untuk mengamini perpecahan atau adu jotos sesama muslim, juga sebangsa.

Jangan-jangan kita juga lupa dengan latar belakang berdirinya HMI hingga menggaungkan tajuk “keislaman dan keindonesiaan”. Wah, makin kuat saja saran untuk ikut lagi LK-1.

Terbukti, Kita Tidak Berkembang

Perhelatan Kongres HMI XXXI di Surabaya mendapat banyak sorotan mulai dari kader HMI, hingga dari mereka di luar HMI. Bagaimana tidak, di tengah kondisi sekolah formal saja dialihkan ke ruang virtual karena merebaknya pandemi, juga para pakar menyepakati kita mesti berlari untuk memanfaatkan teknologi, di Tanah Sura dan Baya, Kongres HMI masih saja dipaksa secara tatap muka dan peserta yang membludak. Saya pun masih menerka apa alibi paling mutakhirnya para wakanda.

Jika hanya perihal pembahasan konstitusi, beberapa organisasi telah berhasil memberi contoh untuk melaksanakan kegiatan sekelas Kongres HMI secara virtual, atau dengan cara membatasi per zonasi untuk mencegah membludaknya peserta kongres.

Percuma, di beberapa training formal, nonformal, hingga diskusi para kader membahas tentang Revolusi Industri 4.0, tapi pada kepentingan kongres, hasil diskusi itu seketika lepas dari ingatan hanya karena menuruti permintaan wakanda.

Sudah, ah. Nih, kesimpulan dari saya, untuk para peserta kongres di Surabaya, tetap sehat, yaa! Segera pulang dan desak HMI untuk kembali pada khitah perjuangannya.

Untuk para romli (rombongan liar), kehadiranmu di sana dianggap orang-orang liar. Itu konotasinya negatif, bukan? tapi, kok, bangga, ya? Pulanglah dan mengabdilah pada kegiatan training. Di situ kau akan dimuliakan oleh adinda-adinda baru dengan sebutan “kanda-yunda”, tanpa menambah ruwet masalah kongres. Urusan reuniannya, bisa virtual. Wkwkwk.

HMIKongres HMIMohamad Ryfan Abdjul
Comments (0)
Add Comment